Wednesday, March 07, 2007

Rahasia kita berdua - 5

Sejak Sugi bentak2 aku saat itu, aku jadi sebel selalu sama Sugi.

Aku putuskan untuk sebisanya tak peduli. Pura2 gak liat kalo bisa. Cuekin Sugi walau ususnya terburai kemana-mana. (Malah kugunting putus sekalian usus Sugi) Biarpun Sugi bisa keluar dari tembok, warna badannya pucat & matanya item2, aku sengaja menguap bosan (Malah kukasih mascara & lipstik ke Sugi, jadinya keliatan Goth. “Jadi keren deh!”).

Inti acara, Riya ini ngambek. Ya iya lah..

Wong aku gak merasa bersalah kok. Salah apa yo? Salah apa?

“Kenapa aku kudu dikerjain ama Sugi terus2an? Sugi hantu gak tau dirii!!! Kamu mati lagi aja deh sonoooo!!! ” Seruku sembari ngunyah cakar ayam buatan si mbak, yang tulangnya kemudian dilempar ke Sugi yang lagi ngerayap di dinding bangsanya spiderman.

Sugi yang tidak siap menangkis serangan cakar ayam kaget jatuh berdebum ke lantai. Setelah menyadari bahwa ia hantu, lantas tak apa2 walau kena lemparan maut cakar ayam, ia marah-marah.

“Kalo gitu ya balikin aku laahh... wong udah mati kok masih di siniii” serunya

“Eeeehh.. kalo aku tao gimana cara balikin kamu, udah aku jabanin dari duluu!!! Bukan urusan aku lah bunuh kamu lagi!! Seenaknya aja nuduh aku.. kamu-nya sendiri kenapa juga kepikiran datengin aku!!”

“Mau tahu?? Setelah aku mati, pas aku setengah sadar & belum bisa ngeliat apa2, aku sayup2 denger nama aku disebut2.. bukan disebut2 lagi.. dijerit2in ama ini satu cewe yang jeleeekkknya setengah mati... mau tau siapa cewe itu?”

“Semau aku laah mau jerit2in nama siapa aja, aku juga jerit2in nama Nike Ardilaa pas masih TK.. juga nama Alda laaahh.. idiiih ge-eran banget sih loooo.... lagian kenapa juga kamu sewot sih kalo aku suka sama kamu??? Bukannya harusnya hepi?? Aku gak suka sembarang orangg laahhh”

“Ya soalnya aku..”, Sugi melotot, “.. aku gak SUKA kamu”

“Ya emang kalo kamu gak suka aku, jadinya aku juga gak boleh suka?” Aku jadi tambah sewot. Bukan rahasia lagi kalo aku tahu bahwa Sugi itu sukanya sama yang dadanya gede, si Tea itu. Lalu?

“Orang segoblok mana sih yang naksir pacar orang seenaknya aja, apalagi kalo pihak yang ditaksir gak suka? Orang setolol2nya juga gak mau cari susah!!”

“Kamu gak ada hak untuk nyuruh aku gak suka! Kalo kamu senyumin gadis, berperilaku baik sama cewe, trus ya lumayan tampangnya, otomatis cewe jadi suka lah? Cewe mana yang gak akan jatuh hati? Mami2 aja pasti setuju kalo jaman remaja tuh jaman jatuh cinta! Kenapa kamu sewot?”, ujarku sambil lempar piring kaleng berisi cakar ayam ke tembok dimana Sugi lagi berdiri.

Piring kaleng bermotif ayam itu pun jatuh berdebum diiring2i cakar ayam yang tinggal tulang2nya saja. Aku dan Sugi melihat ke arah kekacauan itu.

“Oooh gitu??”, ujar Sugi pelan, ” Jadi aku gak harusnya baik2 sama kamu supaya kamu gak salah sangka? Semua ini salah aku? Gara2 aku juga tampangnya -lumayan- jadi otomatis salahnya aku? Harusnya aku ngerusak wajahku sendiri supaya cewe2 gak pada naksir gitu?”

Aku melotot ke arah Sugi tajam.

“Kalau begitu aku minta maaf nona manis.. karena aku telah menyengsarakanmu” ujar Sugi sarkastik.

“Sekarang.. “ Sugi bungkuk menghormat, “..aku tak mau mengganggumu, apalagi menggodamu lagi. tolong, bunuhlah aku.”

Aku terkesiap tak bisa berkata2. Ini adalah situasi yang aku tidak tahu mau diapakan lagi. Sampai aku dengar..

“.. Non..” suara si Mbak dari belakangku. “.. ada apa non? Kok banting2 piring..”

Tersadar, aku buru2 naik ke kamarku dan membanting pintu.

”Untung piringnya kaleng.. ” sungut si Mbak sambil membereskan tulang2 ayam. Sugi menghilang.

Wednesday, October 19, 2005

Rahasia kita berdua - 4

Cukup lama rasanya aku baru bisa menerima bahwa Sugiarta sang idola tercinta itu memang sudah koit. Dan cukup lama pula sejak Sugi sang hantu pujaan itu menampakkan dirinya di hadapanku.

Dan masalah besarnya adalah dia stuck di bumi. Dia kepingin ke surga dan dapet kenalan perawan banyak dan dia stuck di bumi.... dengan orang yang tahu keberadaannya cuma aku Riya fans beratnya.

Aku berusaha memberitahu teman baikku Nika bahwa aku bisa melihat Sugi. Entah mengapa Nika malah memandangku dengan tatapan kasihan dan matanya berkaca2. Dan malam itu Nika pergi ke rumahku untuk mengadu dengan mama papaku yang juga sedih mengira aku gila. Entah mengapa tiga orang itu dari prihatin jadi seru cerita-cerita membandingkan psikiater ini itu.

Pernah dulu coba ke dukun minta tolong pulangin Sugi. Tetapi dukun tidak bisa melihat ataupun merasakan si hantu Sugi. Walau bagaimanapun aku berusaha menjelaskan, akhir2nya si dukun malah pikir aku yang kesurupan. Buru-burulah aku pulang sebelum si dukun mengeluarkan kerisnya itu entah untuk apa.

Kalau saja aku bisa menikmati keberadaan Sugi sang pujaan hati dengan dating beribu kali, ke taman ria bersama, minum dari gelas yang sama dengan dua sedotan, cium2an, peluk2an dan ber*sensor* ria...

Kenyataannya? Susah rasanya untuk mentolerir Sugi si hantu kalau selama dia terus nyap2 dan nakut2in aku. Kaget2in pake keluar dari TV ala Ringo. Bergantung2 di lorong sekolah macam The 6th Sense. Atau tiba2 mukanya dilebar2in mirip topengnya Scream. Ah My Gawwdd..

Aku tahu bahwa Sugi dengan teganya melakukan hal2 itu gara2 ia tidak suka kenyataan cuma Riya yang bisa melihatnya.

Mengapa bukan ibunya?

Pernah kita berdua coba berkunjung ke rumah Sugi untuk kontak orang tuanya, tapi ibu Sugi malah panggil polisi karena dia kira aku gila. Konon jadinya aku dikejar2 sampai ke jalan Sudirman sama polisi dan pegawai rumah sakit gila.

Mengapa bukan Tea bahenol yang baru saja dia pacari dan belum sempat dinikmati madunya?

Pernah juga dia desek2 aku supaya ngomong sama Tea.. tapi rupanya Tea sudah tidak menunjukan bahwa dia rindu Sugi. Tea sedang asik2nya di-PDKT-in sama Andi Hunk yang dari jaman jebot mengincarnya. Walhasil Sugi jadi sebel setengah mati dan keinginannya itu mati. Aku? Bah aku mau simpan Sugi untuk diriku saja lah.

Tapi karena Riya ini memang orang yang baik hati, pernah aku coba beritahu Tea. Hasilnya? Aku ditampar mutlak oleh Tea, disiram teh basi sama gadis2 centil gangnya dan pulang sekolah jatuh terjungkal disengkat sama Andi Hunk. Sial.

Dan entah mengapa sejak saat itu serangan2 gencar Sugi menakuti2 Riya jadi meningkat sampai aku pingsan ketika ia meniru gaya kayangnya Exorcist di tangga rumah. Rupanya Sugi semakin kesal dan bosan. Waktu aku digotong sama mbak ke kamarku Sugi nyengir.. dengan mata yang dingin.

Ketika aku sadar dari pingsanku seperti biasa dia minta maaf. Dan aku selalu memaafkan dengan mata bodoh berbinar. Setelah beberapa hari aku dan Sugi jadi sering berbincang-bincang tentang masa lalu. Tentang keluarganya. Tentang adiknya. Tentang Tea. Tentang aku.

Pernah dia ingat gotong aku ke SKU waktu aku pingsan upacara bendera. Lalu pernah juga dia ingat waktu kita berdua sebangku aku sering cekikikan baca komik di kelas waktu pelajaran. Atau dia cerita bagaimana siasatnya waktu coba nyontek dari mejaku.

Waktu dia tanya alasanku bisa merindukannya sampai dia kaga bisa pulang aku jawab, “Wah aku gak tau sih.. mungkin karena aku fans beratmu” dengan mata bloon berbinar. Biasanya dia berdecak kesal dan pergi ngeluyur.

Tapi malam ini dia marah. Dia berdiri dengan mata benci yang aku belum pernah lihat sebelumnya. “JANGAN BEGITU TERUS DOONG!” ujarnya “KAMU GAK KASIHAN SAMA AKU? AKU SUDAH MATI TAU!!! AKU HARUSNYA GAK DI SINI!!”

Aku terkesiap.

“HARUSNYA DIAPAIN SIH? UDAH AKU COBA BIKIN KAMU BENCI SAMA AKU KENAPA AKU MASIH ADA DI SINIII???” lanjutnya.

Sedih bercampur takut aku mulai terisak perlahan.

“JANGAN NANGIS TAHU!! HARUSNYA AKU YANG NANGIS!!” bentaknya.

Dan isakku bertambah besar.

“Hoi” katanya mendengar tangisku.

Dan isakku berubah jadi tangis meraung.

“HOOOI!!!!!”

Dia mengangkat tangannya berancang2 hendak memukulku. Reflek aku berusaha menghindar. Isak tangisku tertahan walau bahuku masih bergerak turun naik. Aku menatapnya dengan mata penuh air mata.

Tertegun kami berdiam diri kira2 beberapa menit lamanya. Diiringi isak tangisku Sugi terduduk dan menghela napas panjang. Kemudian dia pergi ngeluyur keluar lagi seperti biasanya.

Lah kemana si Sugi itu pergi? Bah. Ternyata seperti biasanya dia nongkrong di kamar mandi Tea.... dengan 3-4 hantu genit lainnya. 5 menit lagi Tea akan mandi sebelum tidur. Di sana dia merenungkan nasibnya yang kurang jelas.

Dan aku, masih terisak perlahan, mensusutkan hidung di kamar mandiku sambil membersihkan perut sekalian.

Tuesday, April 26, 2005

Rahasia Kita Berdua, part 3

Yup. Kala aku tertidur manis sehabis menangisi kepergian Sugiarta, idolaku di sekolah SMU Baik Budi kelas 3 IPA 1, tiba2 kudengar ada suara “hoi”.

Ketika kutengok, ternyata di sampingku ada sosok familiar, yang tak lain adalah Sugi sendiri dengan baju SMAnya. Ganteng dan perkasa macam yang dulu aku pernah kenal.

Wahai! Sungguh Tuhan itu maha baik dan maha sempurna. Mungkin semua ini cuma mimpi buruk belaka, mungkin Sugi tidak pernah meninggal sebelumnya. Dengan slow motion aku berteriak “Sugi!!!!” dan bergerak memeluk sosok itu.

Dan dengan slow motion juga ternyata aku menabrak tembok dan terpental 1 kali. Sambil kleyeng2 rada pusing, aku menyadari bahwa.. mungkin aku masih ngantuk jadi salah arah. Langsung kuberbalik arah dan melihat Sugi sedang berdiri dekat pintu kamarku. Lalu tanpa aba-aba kucoba kembali memeluk Sugi, yang berakhir denganku menabrak pintu kamar dengan cantiknya. Dan bangunlah aku bersiap2 kembali, sampai Sugi berteriak mencegah.

“Eh bentar dulu! Bentar dulu! Hoi!.. Kalem! Kalem!”

Aku mengurungkan niatku selanjutnya. Dan suasana menjadi kalem seperti yang diharapkan oleh Sugi.

“Sebentar yaa.. satu-satu dulu... “ Ujar Sugi pelan-pelan.
“pertama-tama, kamu itu..
“siapa?”

Gelegar halilintar tiba2 berbunyi diluar, dan seruan badai mulai menyapa beriringan dengan rasa sedihku. Sugi jadi kaget melihat perubahan cuaca diluar. Dan ketika ia melihat mataku yang mulai berkaca-kaca, ia buru2 meneruskan pertanyaannya.

“Aku tahu kamu itu teman sekelasku... “, sambungnya membuat hujan diluar berhenti sejenak, “namamu... Susi?”

Aku menggeleng sambil mengusap mataku.

“Susan?”

Aku memandang Sugi dengan penuh harap.

“Sedikit lagi!”, ujarku, “Ada Su-nya!”

“Supriyana?”, tebak Sugi. Aku menggeleng.
“Sugeng?
“Supriyadi?
“Su..Su.. Suuu...

“Umm.. “, garuk2 Sugi bingung, “Aku nyerah deh”
“Riya.. namaku Riya! Riyanti Suprajaya!”

Diamlah Sugi sesaat. “Riya? Ada Su-nya dimana?...” Sugi mengernyitkan dahi.

“.. itu kan nama belakangku Suprajaya...” jawabku.

Diamlah Sugi mengernyitkan dahinya tanda bingung. Lalu ekspresinya berubah seakan2 dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba mulutnya membentuk huruf 0.

“OOOOOOoooo.... Riya!!! Rasanya, dulu kita pernah duduk sebangku ya? Cawu satu kalo gak salah?”

Aku antusias ngangguk2. “Ooo.. ok ok.. Riya...Riya.... iya” Sugi mengulang-ulang namaku dan hal itu terdengar begitu merdu di telingaku.

“Hahhahaha.. iya aku ingat kok... kamu itu dulu suka kasih contekan ke aku kalo ulangan sejarah.. hahahah...” Sugi tertawa2 dan aku juga ikut nyengir2.
“Iya.. kamu juga pernah jatoh ke selokan deket sekolah..” Sugi tertawa2 tapi aku cemberut karena hal itu memalukan.
“Kamu tuh gadis yang kalau basket sering kejotos ama cewek lain.. “lanjut Sugi tertawa2, dan tiba2 berubah wajahnya jadi serius setelah melihatku cembetut.

“Gini ya.. Riya... denger dulu baik2..”, Sugi memandangku, “Ngeliat kamu tadi susah payah mau meluk aku, aku mungkin harus kasih tahu kamu lagi..
“Aku sudah mati! “
Gelegar halilintar kembali terdenger.
“Koit! “ Wush.. angin kencang diluar.
”Sekarang wujudku ini hantu! Jadi jangan coba peluk ntar nabrak lagi” ujar Sugi.

“Hah? Hantu?” Aku melotot ke mata Sugi nan elang.

“Iya.. aku harusnya bisa masuk surga dan dapet perawan muda di sono!
“Tapi sialnya, di gerbang surga aku dikasih tahu ama malaikat, bahwa ada orang yang blon rela aku pergi...
“.. Nah aku disuruh selesaiin dulu urusan dengan orang itu sampai dia rela
“Dan whoosh.. aku diteleport ke sini... ketemu sama.. kamu!” Sugi menunjukku tepat di muka.

“Aku?” Jawabku bloon.

“Iya! Kamu! Riya!
”Kok bisa kamu sih? Bukannya mama aku atau Tea? Kok.. kamu?” Ujar Sugi bingung.

Trus Sugi melotot ke arahku minta jawaban. Ahh.. my dear Sugi... melotot ke aku..
Dan pingsanlah aku dengan hebatnya, tak lupa berusaha supaya aku ditangkap oleh pelukannya Sugi, tapi berhubung dia hantu, maka sukseslah aku gedubrak ke lantai kamar.

Friday, April 22, 2005

Rahasia Kita Berdua, part 2

Oalah.. sedih sungguh sedih hati ini. Aku menolak untuk menerima kenyataan bahwa my dear Sugi sudah tak akan pernah aku lihat lagi. Selepas pemakamannya aku tak mau berhenti menangisi kepergian Sugi untuk memperlihatkan duka maha besar yang kualami.

Di rumah, aku jadi malas makan, malas mandi, malas sikat gigi, pakai baju hitam yang jarang dicuci sampai2 mbak ku minta bayaran extra oleh mama buat ngurusin anak gadis imutnya yang dilanda duka begitu tajam. Mengapa mama, mengapa harus terjadi pada diri Sugi, seseorang yang sungguh anak putrimu idolakan lebih dari Nicholas Saputra, oh mama..

Di sekolah, mukaku yang pucat dan mataku yang senantiasa lebam gara2 menangisi kepergian Sugi ternyata begitu mengiba sehingga orang tidak sudi mendekati, Nika pun sungguh prihatin bercampur enggan mungkin gara2 bau badan gadis berduka ini.

“Duh.. kapan kelarnya sih Riya.. kan peristiwanya sudah dua mingguan...” keluh Nika di kantin sekolah sambil membanting pantatnya ke salah satu meja. Nika agak2 risih duduk denganku, tapi berhubung dia setia kawan luar biasa, jadilah Nika tetap menemaniku walau dalam radius 2 meja orang2 tidak sudi duduk dekat gadis berduka ini.
“Ya itulah.. aku tak akan menyerah seperti Tea yang sudah bisa ketawa ketiwi.. masya Allaah... gimana bisa sih dia bersikap seperti itu terhadap Sugi...” protesku sambil mencibir ke arah gadis berambut Sunsilk itu yang sedang berhepi ria bersama teman2 segangnya beda sekitar 3 mejaan dariku.

Dan Tea seperti punya indra keenam tiba2 balik melihat ke arahku, tak lupa dengan kibasan maut rambutnya yang membuat semua orang kesilauan selama beberapa detik.
Salah satu gadis di gangnya, tak tahulah namanya siapa - tapi gadis itu punya bibir super memble yang herannya cowo2 bilang seksi aje – berbisik2 kepada Tea yang disambut oleh angguk2an cewe gang itu dan tertawa ke arahku.

Cewe memble itu berjalan ke arahku sambil bersikap super centil.

“Duh.. bau apa sih...kayak bangkai anjing aja,” celetuknya kurang ajar diselingi ketawa-ketiwi oleh temen2 mereka.
Nika dengan setia kawannya jadi jengkel lalu pura-pura mengendus “Hhh... duh.. tadi gak ada sih baunya.. tapi pas lo lewat jadi ada... bau ketek lo kali ya... “
Cewe memble jadi cemberut.. “Dih.. ketek lo kali bau.. ketek gw mah wangi2 aja.. nih cium nih.. wangi.. “
Nika mencibir “Bah.. najis pisan.. ngapain gw cium2 ketek lo.. ntar gw ketularan jamur lo lagi.. putih2 gitu”
Sewotlah si cewe memble “Eh.. ada juga yang jamuran tuh si jengkol ini! “ tuding cewe memble ke arahku. “... gile aje cewe ato cewe tuh.. gak tau malu banget sih.. cari perhatian aja”
Aku buka mulut “Ihh.. gw gak ada maksud cari perhatian.. suer.. gw cuma mau berduka cita buat Sugi aja.. supaya Sugi gak cepet dilupain kayak Gus Dur..”
“Bah! Ngapain lo masih2 singgung Sugi! Emang dia bisa balik gitu kalo lo kayak gini? Ehh.. jadi cewe punya otak dong.. Kenapa juga musti lo yang lama2 sedih soal Sugi... Pacar juga bukan! Apa an sih lo?” Cewe memble itu membentakku. Dan ketika itulah seketika mejaku jadi terang sedikit, karena rupanya Tea datang menggaet tangan si bibir memble.
“Hei.. sudah cukup ah.. jahat kamu” lirih Tea lembut dan sambil tersenyum manis kepadaku ia berkata “Maafin ya.. mulutnya emang sulit diatur..”
“Ya jelas” celetuk Nika “Mulut segede bagong gitu emang susah diurus.. pengennya nyap-nyap terus gitu..”
Dan kali ini akulah yang menggaet Nika dan buru2 pergi sebelum perang dunia meletus.

Bukan cuma di sekolah saja jalan sengsara gadis ini diganggu gugat. Di rumah pun mama ngomel tak kunjung berhenti. Ketika sedang makan,
“Riya.. UDAH DONG!!! MAKAN YANG BENER KNAPA..”
“Abis maa.. Riya gak nafsu makan nasi sebutirpun...” lirihku sedih.
“YA .. TAPI KALO KAMU CUMAN MAKAN GAK PAKE NASI YA YANG LAEN MANA KEBAGIAN DAGINGNYAAA...”
Buru2lah aku pergi ke kamar melarikan diri dari emosi mama, tak lupa membawa satu paha ayam goreng yang tadi belum selesai aku nikmati.

Dan dikamarku, selesai makan ayam goreng tadi, timbullah kembali rasa duka seribu duka kembali mengiris hatiku. Dan mulailah aku menangis meraung2 minta penjelasan dari Tuhan.
“Tuhaann.. kenapa Sugi harus meninggal Tuhaann.... Aku gak relaa...”
ujarku sampai aku tertidur setelah doa kusuk minta Tuhan beri aku membalas dendam untuk orang2 jahanam yang bunuh Sugi.

Tiba2 ada suara samar2 yang bangunkan aku dari tidur nestapa, “Hoi”

Dan aku pun terlonjak kaget. Hah, siapa itu yang bilang hoi.

Ketika aku clingak-clinguk ngantuk untuk lihat sumber suara kulihatlah Sugi di samping kamar tidurku, memakai baju SMAnya, sedang menatapku tajam.

Thursday, April 21, 2005

RAHASIA KITA BERDUA Part One

PROLOG

Ketika hari buruk itu datang, aku sedang asyik nonton drama Jepang. Tiba-tiba ada telpon dari Nika, temen baik kita berdua. Sambil terisak terharu geram melihat ibu tiri Ryoko merencanakan sesuatu yang busuk kepada anak menantunya sendiri, aku mengambil telepon malas2an.

“Halo” kataku
“Riya, “ ujar Nika dengan suara yang kelewat serius untuk anak seperti dia. “, kamu lagi ngapain..”
“Lagi nonton -Datangkah Hari Esok- nih, asik2nya” protesku
“.. oh” jawab Nika dengan suara enggan. Makin bikin gak enak hati dengernya.
“Ada apa sih, kenapa nada bicaranya kayak gitu” ujarku penasaran.
“..Um.. Riya, jangan kaget ya... “ Ujar Nika pelan-pelan. Deg. Mati lah. Ini pasti berita super serius. Langsung otak mulai mikir macem2. Sekolah kita dibom? Pemerintah ganti komunis? Dunia kiamat?

“Riya... “ kata Nika dengan suara yang makin pelan.. “... Sugi meninggal barusan.. dia kecelakaan... “

RAHASIA KITA BERDUA Part One

Albertus Sugiarta adalah seseorang yang luar biasa spesial untuk seorang Riyanti Suprajaya. Riya, begitu nama panggilanku, tidak akan bisa hidup tanpa seorang Sugi. Sugi adalah makhluk abadi yang diturunkan jeblok langsung dari surga atas untuk menghiburku.

Maka, waktu aku mendengar kabar super buruk dari Nika, pertama-tama terjadi .. blank.. sekitar yah.. 10 menitan. Lalu flashback super kenceng dan kurang jelas.. sekitar 1menit kurang. Lalu tiba2 aku bisa mendengar suaraku sendiri dari tugu Monas. Menjerit2 kencang minta Nika jangan asal ngomong dan suruh dia ketok meja kayu 3 kali. Supaya Nika jangan suka bohong atau nanti ditengokin sundel bolong. Tapi oh... Nika tetap bersuara serius dan dia ternyata memang tidak bohong.

Sugi, makhluk hadiah dari sang Pencipta untuk seorang Riyanti, telah diciduk kembali olehNya. Padahal belon genap umurnya 18 tahun. Belum juga kita lulus SMA dan sama-sama stress belajar buat Ebtanas & UMPTN. Belum kita berdua bareng pergi ke Universitas Harapan Bangsa, uni elite baru muncul yang katanya banyak orang-orang imut tapi kacau bangsanya kita berdua.

Sugi meninggal gara2 ditodong di angkot. Menurut berita Pos Kota halaman depan “Pelajar SMA tewas ditusuk di Kalibata” katanya Sugi ditusuk 7 kali oleh gerombolan siberat antah berantah, mungkin ada 3 orang kata saksi mata. Dompet, jam tangan, tas sampe sepatunya diambil oleh gerombolan itu, lalu Sugi dibuang di rawa2 dekat rumahnya. Sugi masih bisa terseok2 merangkak sampai ditemukan oleh Pak Haji yang kebetulan lagi jaga malam. Namun apa daya ketika dilarikan ke rumah sakit, Sugi kehilangan kesadaran dan ia pun tewas.

Pelakunya blon ketangkep. Polisi masih mengejar. Aku sok pasti dendam berat kepada mereka, setiap malam aku berdoa kusuk masuk komat kamit buat Tuhan supaya gerombolan itu cepat ditangkep polisi biar aku bisa tusuk 7 kali masing2 seperti mereka lakukan kepada my dear Sugi.

Tapi nyatanya Sugi tak akan balik.

Satu kelas kita, SMA Baik Budi kelas 3 IPA 1, diberi hari libur buat anak2 ikut melayat ke pemakamannya Sugi. Waktu melayat aku sampai pingsan berkali-kali sambil nangis meraung-raung. Tidak seharusnya Sugi meninggalkanku secepat ini! Untungnya Nika teman baikku selalu berada di sampingku

“Riya, tabah ya Riya..”hibur Nika
UhuhuHuhuhu...
“Riya... shhh.. Riya..”
“Riya.. udah dong Riya, nanti kan maluu..” ketika aku menangis di pundaknya Nika.
“Huuuh?... “ lirikku kepada Nika “Hh.. Kena.. hh.. pa hh.. harus *srot hh.. malu..” kataku disela-sela segukku.
“.. habis...” ujar Nika ”.. kamu reaksinya paling kenceng dari yang lain...”
Ya lalu? Gak boleh kah aku menangisi kepergian my dear Sugi, dan merenungi betapa malangnya nasibku ditinggal olehnya?
“.. dan lagi... “ ujar Nika “ ... kamu bukan pacarnya... “
Pelan2 mata Nika dan aku melirik ke arah Tea, pacar Sugi yang cantik jelita. Di samping Tea ada Ibu Sugi dan dua2nya.. um.. bukan hanya mereka berdua.. sepertinya semua orang sedang memandang ke arah Nika dan aku.
Dan aku pun menjerit lagi dan pingsan untuk ke-3 kalinya.
“Riyaa.. udah doonk...” ujar Nika putus asa samar-samar...

Setelah tutup tanah, kulihat Ibunda Sugi dan Tea dibelakangnya mendekatiku.
“Tabah ya nak.. ibu sungguh senang Sugi sungguh berarti dalam hidup nak..”
“Iya bu..” segukku “Sugi itu sungguh baik dan istimewa buat saya.. saya tak tahu bu saya bakal jadi apa tanpa Sugi...”
“Terima kasih nak.. Sugi pasti senang sekali ia diingat oleh nak... Sepertinya Nak adalah orang yang paling sengsara ditinggal oleh Sugi..”
Tea yang berada di belakang ibunya agak terlonjak kaget.. “Bu, maksud ibu apa.. saya sedih sekali gini loh.. “ isak Tea.. dan tiba2 tangisan Tea jadi keras tak mau kalah dari tangisanku. Dan aku jadi tambah sedih.. menangislah aku jadi-jadian sambil menjerit2: “Sugi... sugi... o alah...”

Friday, February 25, 2005

Untuk Dijual

Waktu saya masih kecil, setiap Sabtu saya dijadwal oleh orang tua untuk les organ. Letak tempat les organ ini tidak jauh dari rumah, kira-kira jalan kaki 5 menit lewat jalan kecil. Kira-kira sore hari jam 5 sampai jam 6 saya pergi ditemani pembantu. Setelah umur 10 tahunan, saya mulai direlakan pergi sendiri.

Setiap kali lewat jalan kecil ini, ada 2 sosok manusia bertempat tinggal di tepi trotoar. Lelaki tua dan perempuan tua, mungkin suami istri atau kakak adik, yang kurus hingga tulang-belulangnya bisa terlihat jelas. Pakaian mereka compang-camping, cuma secabik kain untuk menutup badan dan rambut mereka putih awut-awutan. Badan mereka coklat terbakar sinar matahari, muka mereka mencerminkan rasa letih yang luar biasa. Melihat dari barang-barang mereka seperti cangkir dan piring kaleng dan dari lokasi mereka di samping warteg, bisa dibilang bahwa mereka makan sisa makanan para supir bajaj yang kadang mampir di warteg tersebut. Ketika bertemu mereka saya otomatis menundukkan kepala, memalingkan muka dan berjalan menghindari mereka. Namun entah mengapa saya masih bisa menangkap sosok mereka di sudut mata.

Suatu hari, saya melihat di samping lelaki itu tergeletak beberapa batang kayu. Kayu-kayu itu beragam jenis dan macamnya tapi terlihat jelas bahwa kayu-kayu itu diambil dari sampah. Kemudian, saya mendapati tangan keriput lelaki tua itu sedang sibuk mengasah kayu-kayu dengan pisau. Sedikit demi sedikit, kayu yang diasah semakin banyak dan bentuknya semakin jelas. Lalu minggu berikutnya saya melihat 2 buah roda sebesar roda bajaj di samping perempuan itu. Sambil melanjutkan perjalanan, saya bertanya-tanya apa yang hendak mereka buat.

Minggu berikutnya, sesuatu itu akhirnya berbentuk. Sebuah gerobak beroda 2, tingginya lebih besar sedikit dari gerobak bakso, lengkap dengan 2 pegangan dan beberapa laci di samping-sampingnya. Dari perawakan lelaki itu yang luar biasa kurus, tidaklah mungkin baginya untuk mendorong gerobak sebesar itu. Timbul pertanyaan baru, untuk apakah mereka membuat gerobak itu?

Sabtu berikutnya, gerobak itu kini mempunyai warna coklat. Entah dari mana mereka bisa mendapat cat. Di atasnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan "Untuk Dijual." Entahkah mereka yang menulis atau mereka meminta orang lain menuliskannya. Sebuah gerobak beroda 2 berwarna coklat untuk dijual. Dalam hati saya bertanya, adakah yang mau beli gerobak sederhana yang dibuat susah payah dari kayu yang diambil dari sampah ini?

Lelaki dan perempuan itu masih duduk di trotoar di samping gerobak coklat itu. Di mata mereka yang redup terpancar sinar harapan agar gerobak itu bisa terjual. Pernah saya pergoki perempuan itu sedang melap gerobak supaya cat coklatnya masih kelihatan baru walau diterja debu jalanan.

Berhari-hari. Berminggu-minggu. Masih ada tulisan "Untuk dijual" diatasnya. Kian lama saya menganggap gerobak itu bagian dari keluarga mereka. Saya merasakan simpati menyerang walau masih membuang muka dan pura-pura tak peduli. Benarkah gerobak coklat itu, hasil karya sepasang manusia yang masih ingin berjuang di tepi jalanan Jakarta, tidak berharga sepeserpun? Tak adakah penghargaan untuk jerih payah mereka?

Setelah beberapa bulan lamanya, tulisan "Untuk dijual" itu kemudian hilang. Perempuan dan laki-laki itu mulai meletakkan cangkir dan piring kaleng di atas gerobak itu. Saya menyimpulkan bahwa mereka sudah menyerah untuk menjual gerobak coklat itu dan berupaya untuk menggunakan gerobak itu sebisanya.

Lalu tiba saatnya saya tidak melihat perempuan yang biasanya setia di samping laki-laki itu. Kemana perempuan itu? Batin saya menyangkal pikiran terburuk. Sabtu demi sabtu berlalu, dan lelaki itu masih meringkuk sendirian di pinggiran jalan di samping gerobak. Dan saya pun sadar bahwa saya tidak akan pernah melihat perempuan itu lagi.

Kira-kira 2 bulan kemudian lelaki itu pun tak pernah kelihatan lagi. Gerobak coklat itu masih di trotoar, makin lama makin rapuh. Pertama-tama rodanya hilang. Dan entah kapan tak pernah ada lagi. Mungkin diambil orang.

Wanita, anak perempuan dan sebuah roti

Suasana tegang dan rawan di sebuah pedesaan terpencil di negara Bosnia, negara penuh sengsara. Angin bertiup sepoi-sepoi di sebuah jalan gang kecil yang kotor, gang yang hadir di tengah dua gedung yang luluh lantak sejak setahun yang lalu. Tentu saja, tidak ada makhluk hidup yang bertempat tinggal di sana. Sepi sunyi menyayat sungguh sampai orang bisa bertanya di mana Tuhan.

Jika kau buka mata, kau bisa dengar dari kejauhan langkah kaki terburu-buru mendekat dan memasuki gang itu. Jika kau buka telinga, kau bahkan bisa mendengar kaki mereka berteriak ketakutan.

Terlihat seorang wanita Bosnia berjilbab, kira-kira 40 tahunan, berlari kesetanan. Di belakang wanita itu terlihat seorang anak perempuan berumur 10 tahun. Mereka memasuki gang berdebu dan dari sekujur tubuh mereka gemetar seraya terus mengayuh badan. Berlari-lari. Si anak tiba-tiba tersandung batu, meringkih dan wanita itu segera berbalik menolongnya, dan mereka lanjut berlari. Lari terus ke depan. Lari terus ibarat kijang yang sadar dirinya akan jadi santapan harimau lapar, tanpa sekalipun menoleh ke belakang karena lari adalah keinginan untuk hidup yang begitu kuat.

Jika kau lihat, di tangan wanita itu tergenggam sebuah roti kecil. Wanita itu baru saja colong satu roti dari barak tentara kira-kira jaraknya 1 mile. Sejak penemuan barak ini seminggu yang lalu, biasanya pencurian selalu berhasil dan mereka berdua, wanita dan anaknya, bisa mengusir lapar yang memakan mereka, tapi kali ini peruntungan jalan kurang baik dan seorang tentara melabrak mereka.

Dari kejauhan terdengar bunyi senjata. Jika kau ikuti bunyi itu, sumbernya berasal dari senapan sang tentara yang sumpah serapah dan menyuruh wanita-wanita itu berhenti melarikan diri. Setelah kau lihat wajah tentara itu, terlihat wajah yang teramat lelah dan letih dari perang beribu jagad. Dan lihat juga, dia bawa temannya satu lagi, yang wajahnya hampir tidak menyerupai manusia, satu mata hilang sungguhan satu matanya lagi hilang rasa hidup dan liar karena telah berburu sesama manusia dan hidup dari darah mereka.

Barak para tentara itu sudah lama ditelantarkan oleh kantor pusat. Komunikasi rusak. Persediaan hidup kian menipis, juga air dan makanan. Satu demi satu teman mereka mati, dari kekurangan darah sampai sakit mental dan harus dibunuh supaya tidak mengancam orang lain. Lalu ada yang bunuh diri karena tidak mampu tahan penderitaan.

Mereka kebetulan baru balik dari buang hajatnya ketika mereka bertemu dengan wanita dan anaknya itu di barak. Melihat mereka, dalam hitungan peluru wanita itu langsung berlari menarik anaknya secepat kilat keluar dari barak.

Menghadapi kejadian ini, para prajurit lantas mengejar mereka. "Wanita!" Seru hati mereka ketika melihat Hawa dan begitu senangnya satu prajurit itu karena sebelumnya ia berdoa pada Tuhannya supaya kalaupun ia harus mati, ia ingin seks satu kali lagi. Mereka tahu bahwa wanita itu mencuri sebuah roti, tapi pikiran tentara-tentara yang sudah bosan dengan sodomi dan masturbasi lebih jalan ke arah yang berbeda.

Tiba saatnya kita melihat lagi ke gang sempit. Si anak perempuan berusaha berlari dengan kaki terluka, namun tentara dan nafsunya kian mendekat dan berhasillah tangan si anak diraih. Dalam kepanikan dan deru jantung gila-gilaan, tangan si anak gemetar mengayunkan pisau dari ikat pinggangnya. Pisau Anak yang dari tadi dicari saat berlari meluncur darurat dan melayang tanpa arah. Sayang, lawan si Anak adalah orang terlatih dan pisau kemudian terbuang dengan mudahnya. Si anak memukul, menendang dan menggigit dan menarik dan kakinya terus berteriak "lari! lari!" dengan sisa-sisa keinginan hidup yang demikian kuat. Prajurit adalah harimau yang melemahkan korban dengan mencabik dan menerkam dan menyeret.

Wanita itu dengan naluri ibunya berusaha menarik-narik kaki anaknya yang diseret. Tapi, prajurit yang lain menangkap sang ibu dan melemparkannya ke tembok gang, sehingga tembok yang tanpa warna itu sekarang merah. Tentara menggampar, menendang dan sampai wanita itu penuh dengan luka terbuka.

Anak menjerit-jerit, suara tamparan dan robekan baju, dan suara tulang kecil yang patah entah apa entah di mana. Wanita yang lemah masih berusaha memukul-mukul prajurit dengan tangannya, sehingga prajurit itu harus menggetuskan kepala wanita itu ke tembok belakang. Darah mengucur dari kepala dan badan dan liang kemaluan. Harimau pun akhirnya makan setelah korban kehabisan tenaga.

Beberapa waktu telah berlalu. Suasana masih sepi tegang, hanya debu di kejauhan menyayat. Semua orang bisa bertanya di mana Tuhan.

Jika kau pejamkan mata, kau bisa dengar suara resleting celana dipasang dan suara darah mengalir. Tentara yang baru garap wanita berdiri dan mengusap keringatnya. Kemudian ia melihat ke arah mangsanya. Di dekat wanita itu ada roti yang kotor terkena darah dan tanah. Tentara itu merampas roti genggaman dan dengan segera mengunyah kelaparan. Setengah roti itu dia lemparkan kepada temannya yang juga kelelahan melampiaskan nafsu kepada anak perempuan.

Isak tangis tergugu terdengar dari sang anak, namun lantas hilang. Lantas sang prajurit mengetes apakah si anak masih hidup, dan memanglah ia belum saatnya untuk mati. Tidur adalah pelampiasan terakhir si anak perempuan untuk hidup yang jahanam. Dengan mata yang terpejam sekali sang ibu melihat anaknya malang. Setitik air mata keluar dari mata yang terpejam kedua kali dan perut yang lapar kian mengerang-erang. Juga ia masih sadar dan dari matanya yang tertutup darah ia mulai sayup-sayup menerawang, mengejamkan kelopak matanya yang lengket dan ia pun tertidur dengan napas tersengal.

(Di dalam mimpi mereka Tuhan menyanyikan lagu pengantar tidur dan memahkotai mereka dengan bunga padang, yang lampau menghiasi padang desa sebelum perang).

PAK GENDUT DAN MADONA

Ketika hari hampir subuh, Pak Gendut membuka pintu rumahnya yang terletak di bilangan Pondok Indah. Menghela napas, ia menuju kamarnya . Tidak ada jejak istrinya. Ke mana juga? Tapi karena sudah keseringan tidak melihat istrinya, Pak Gendut tidak heran lagi. Jadi ia langsung ganti baju lalu tidur. Stress membuatnya ngorok keras-keras, sampai anak lelakinya, yang ada di kamar sebelah, harus putar lagu House Music untuk mengimbangi suaranya. Sedang apa ia? Ohh… sedang hacking ke RCTI website. Ia ada lomba dengan sesama hackers untuk kasih foto porno di website itu.

Pak Gendut menderita penyakit jaman sekarang, penyakit kesepian dan hilang makna hidup. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika kebutuhan pokok terpenuhi? Manusia cari kebutuhan sekondari lewat musik dan seni. Apa yang terjadi jika ini juga terpenuhi karena, yah hidup di jaman modern ini, karena uang tercukupi? Pak Gendut pulang tiap hari dari pekerjaan yang membosankan – tapi menghasilkan uang cukup – dan teman-teman kantor atau kawan-kawan seperjuruan yang semuanya menyebalkan. Mereka juga adalah orang-orang yang bosan setengah mati juga, tapi tidak rela untuk hidup miskin karena makanan mereka adalah gengsi yang dibawa sampai mati.

Begitulah. Pagi ini ia bangun makan sereal instan atau Indomi, pergi ke kantor diantar Pak Sarip, yang bawain koper juga Mirah dari desa Gotong Royong propinsi Jawa Tengah. Istrinya? Pak Gendut kurang tahu, tapi kalau diingat-ingat sepertinya istrinya sedang ke Singapura bareng teman-teman arisannya untuk ikutan “The big Singapore sale”. Pak Gendut sudah kehilangan gairah dengan istrinya sejak lima tahun lalu. “Ah, asal dia senang apapun saya belikan,” pikir Pak Gendut.

Pak Gendut punya anak dua, yang sulung cowok dan yang bungsu cewek. Yang cowok jarang keluar kamar, mungkin karena kamarnya itu laksana toko barang-barang elektronik waktu Pak Gendut pernah iseng lirik. Pak Gendut tidak pernah ingat ia pernah membelikan barang-barang itu, yang ia tahu cuma tagihan kartu kredit anaknya berlipat ganda sekitar tahun kemarin. Anak cowoknya itu minta kartu kredit sendiri ketika ia sudah legal bisa punya, jadi Pak Gendut, yang merasa bersalah kurang perhatian padanya, bersenang hati untuk memberikannya satu. Anak perempuannya? Pak Gendut kurang suka. Pak Gendut pernah terpaksa bertemu dengan kepala sekolah anaknya ini karena anaknya sering bolos sekolah dan terancam tinggal kelas. Apa boleh buat, demi kelangsungan pendidikan anaknya – terlebih lagi karena gengsi, masa punya anak gak naek kelas – Pak Gendut harus beri “hadiah” untuk kepala sekolahnya berupa sebuah Kijang. Walhasil, kepala sekolah terima dan semua jadi senang. Pak Gendut curiga bahwa anak perempuannya ini pergaulannya kurang beres, tapi Pak Gendut terlalu takut untuk bertanya. Ia sempat prihatin ketika di suatu hari ia melihat anak perempuannya, Dewi, dijemput teman-temannya yang bertato di tangan kiri dan kanan. Hmm.. sebenarnya cuma itu yang kelihatan, belum dihitung naga di punggung belakang!

Tapi dalam kehidupan yang sangat teramat membosankan ini Pak Gendut punya seseorang. Pak Gendut rajin pergi ke Mangga Besar untuk bertemu seseorang. Namanya Madona. Nama sebenarnya itu Sarinah, tapi untuk menyesuaikan diri dengan Jakarta berubahlah ia menjadi Madona. Umurnya kira-kira 20 tahunan. Pak Gendut tidak tahu benar apa pekerjaan Madona, tapi Pak Gendut tahu bahwa Madona tidak menolak untuk diajak kencan di hotel berbintang.

Pak Gendut perlakukan Madona seperti istri kedua. Bagi Pak Gendut, Madona simpanan ideal, gak cerewet, gak ngerajuk kelewat dan juga hobi belanjanya jarang. Madona tidak pernah mengeluh soal tipnya. Madona juga berharap bahwa ketidakrewelannya bisa membuat Pak Gendut betah. Madona tidak pengen main-main terlalu dengan berbagai jenis lelaki. Madona ingin jadi simpanan dengan gaji yang tetap, seperti hubungannya sekarang dengan Pak Gendut. Sekarang Madona punya vila di Puncak dan kartu kredit untuk belanja-belanja. Ia buat kawan-kawannya iri dan ia bangga atas hal itu.

Suatu hari, Pak Gendut di mobilnya ketika macel melihat pasangan suami istri usia lanjut yang rangkul-rangkul mesra di tepi jalan. Baju mereka bukan baju yang bisa menutup dari matahari dan hujan. Pak Gendut sering melihat orang-orang gembel, tapi mereka kelihatan beda. Tiba-tiba mereka bertatap mata dengan Pak Gendut. Ketakutan, Pak Gendut langsung buang muka. Ketakutan yang selalu ada, ketakutan bahwa mereka para gembel itu bakalan minta duit dan bikin sengsara. Tapi ketakutan itu dibayangi juga dengan rasa bersalah sebagai seorang yang berkecukupan dan kewajibannya untuk memberi kepada masyarakat yang kurang mampu. Kalau rasa bersalah ini kadang-kadang kelewat hebat, Pak Gendut segera hubungi temannya Mira, orang Cina yang berani terjun ke masyarakat, dan atur urusan soal sumbangan ke yayasannya dari bank accountnya. Pak Gendut kalau sedang royal bisa beri sampai sepuluh juta.

Pak Gendut ketemu Mira dulu di Gereja Tiongkok saat mereka masih kuliah di Universitas Tarumanegara. Waktu itu Pak Gendut belom gendut-gendut amat, bahkan bisa dibilang oke untuk dijadikan pasangan (Madona bahkan bisa bayangin bahwa Pak Gendut cakep waktu muda). Sebagai mahasiswa yang hobi kritik dan protes sana-sini, mereka rajin berdiskusi soal bagaimana mereka bisa mengubah dunia. Obrolan berkisar sampai kemiskinan dan kesenjangan social yang begitu besar di Indonesia akibat globalisasi. Mereka juga hobi benci sama Amerika dan ngobrolin kejelekan-kejelekan negeri Paman Sam ini. Intinya, mereka adalah teman akrab.

Mereka juga pernah pacaran selama lima tahun. Apa yang terjadi? Pak Gendut bawa Mira ke orangtuanya untuk minta restu kawin, lalu setelah sekian lama pacaran orang tuanya baru bilang tidak setuju. Padahal mereka sudah tahu tentang Mira dari dulu, tapi rupanya kesal dipendam di hati dan mereka berdoa khusyuk supaya pasangan ini putus. Alasannya? Mira Cina Baba, Pak Gendut Cina Totok. Orang tuanya ingin Pak Gendut dengan Cina yang setingkat dengan keluarga mereka, dan masih bisa punya nama Cina dan berbahasa Cina. Heran. Padahal sama-sama Cina.

Lalu mereka tiba-tiba ngomong soal pasangan kalo tidak setingkat/sehati bisa repot kalau sudah kawin. Mereka bawa Pak Gendut ke pendeta supaya dinasihati. Lalu mereka ajak omong Mira soal hal ini. Walhasil, Mira tiba-tiba minta putus karena tidak tahan. Pak Gendut depresi. Pak Gendut sebel sama orang-tuanya, sebel sama Mira, dan bahkan sebel sama pendeta dan gereja yang penuh orang-orang totok itu. Sebagai mahasiswa, ia benci gereja yang penuh orang-orang kaya yang muji Allah naek Merci dan gak nyumbang apa-apa.

Tapi sekarang ia telah menjadi orang kaya itu. Sekian lama ia terjun ke masyarakat, semakin ia tahu bahwa kehadirannya susah mengubah sesuatu. Tapi Mira lain. Ia tetap bersikeras bahwa sesuatu masih bisa dilakukan. Setelah mereka berdua menikah dengan orang-orang lain, Pak Gendut masih kadang-kadang menghubungi Mira dan bincang-bincang soal hal lama.

Sore-sore Pak Gendut tiba-tiba punya keinginan untuk ketemu Madona. Istrinya? Pak Gendut berusaha ingat kapan terakhir kali ia melihat istrinya. Ia merasa khawatir soal hubungan mereka, tapi kaki Pak Gendut melangkah pasti menuju Madona di hotel bintang lima.

Asal Muasal Cerpen2

Kalo mo serius jadi penulis ya harus nulis. Kalo mo nulis fiksi kudu mulai dari cerpen dulu, baru coba-coba ke novel (kalo cukup tangguh). Cerpen itu... kira2 6 pages di Word. Hayo, mari kita nulis!