Friday, February 25, 2005

Untuk Dijual

Waktu saya masih kecil, setiap Sabtu saya dijadwal oleh orang tua untuk les organ. Letak tempat les organ ini tidak jauh dari rumah, kira-kira jalan kaki 5 menit lewat jalan kecil. Kira-kira sore hari jam 5 sampai jam 6 saya pergi ditemani pembantu. Setelah umur 10 tahunan, saya mulai direlakan pergi sendiri.

Setiap kali lewat jalan kecil ini, ada 2 sosok manusia bertempat tinggal di tepi trotoar. Lelaki tua dan perempuan tua, mungkin suami istri atau kakak adik, yang kurus hingga tulang-belulangnya bisa terlihat jelas. Pakaian mereka compang-camping, cuma secabik kain untuk menutup badan dan rambut mereka putih awut-awutan. Badan mereka coklat terbakar sinar matahari, muka mereka mencerminkan rasa letih yang luar biasa. Melihat dari barang-barang mereka seperti cangkir dan piring kaleng dan dari lokasi mereka di samping warteg, bisa dibilang bahwa mereka makan sisa makanan para supir bajaj yang kadang mampir di warteg tersebut. Ketika bertemu mereka saya otomatis menundukkan kepala, memalingkan muka dan berjalan menghindari mereka. Namun entah mengapa saya masih bisa menangkap sosok mereka di sudut mata.

Suatu hari, saya melihat di samping lelaki itu tergeletak beberapa batang kayu. Kayu-kayu itu beragam jenis dan macamnya tapi terlihat jelas bahwa kayu-kayu itu diambil dari sampah. Kemudian, saya mendapati tangan keriput lelaki tua itu sedang sibuk mengasah kayu-kayu dengan pisau. Sedikit demi sedikit, kayu yang diasah semakin banyak dan bentuknya semakin jelas. Lalu minggu berikutnya saya melihat 2 buah roda sebesar roda bajaj di samping perempuan itu. Sambil melanjutkan perjalanan, saya bertanya-tanya apa yang hendak mereka buat.

Minggu berikutnya, sesuatu itu akhirnya berbentuk. Sebuah gerobak beroda 2, tingginya lebih besar sedikit dari gerobak bakso, lengkap dengan 2 pegangan dan beberapa laci di samping-sampingnya. Dari perawakan lelaki itu yang luar biasa kurus, tidaklah mungkin baginya untuk mendorong gerobak sebesar itu. Timbul pertanyaan baru, untuk apakah mereka membuat gerobak itu?

Sabtu berikutnya, gerobak itu kini mempunyai warna coklat. Entah dari mana mereka bisa mendapat cat. Di atasnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan "Untuk Dijual." Entahkah mereka yang menulis atau mereka meminta orang lain menuliskannya. Sebuah gerobak beroda 2 berwarna coklat untuk dijual. Dalam hati saya bertanya, adakah yang mau beli gerobak sederhana yang dibuat susah payah dari kayu yang diambil dari sampah ini?

Lelaki dan perempuan itu masih duduk di trotoar di samping gerobak coklat itu. Di mata mereka yang redup terpancar sinar harapan agar gerobak itu bisa terjual. Pernah saya pergoki perempuan itu sedang melap gerobak supaya cat coklatnya masih kelihatan baru walau diterja debu jalanan.

Berhari-hari. Berminggu-minggu. Masih ada tulisan "Untuk dijual" diatasnya. Kian lama saya menganggap gerobak itu bagian dari keluarga mereka. Saya merasakan simpati menyerang walau masih membuang muka dan pura-pura tak peduli. Benarkah gerobak coklat itu, hasil karya sepasang manusia yang masih ingin berjuang di tepi jalanan Jakarta, tidak berharga sepeserpun? Tak adakah penghargaan untuk jerih payah mereka?

Setelah beberapa bulan lamanya, tulisan "Untuk dijual" itu kemudian hilang. Perempuan dan laki-laki itu mulai meletakkan cangkir dan piring kaleng di atas gerobak itu. Saya menyimpulkan bahwa mereka sudah menyerah untuk menjual gerobak coklat itu dan berupaya untuk menggunakan gerobak itu sebisanya.

Lalu tiba saatnya saya tidak melihat perempuan yang biasanya setia di samping laki-laki itu. Kemana perempuan itu? Batin saya menyangkal pikiran terburuk. Sabtu demi sabtu berlalu, dan lelaki itu masih meringkuk sendirian di pinggiran jalan di samping gerobak. Dan saya pun sadar bahwa saya tidak akan pernah melihat perempuan itu lagi.

Kira-kira 2 bulan kemudian lelaki itu pun tak pernah kelihatan lagi. Gerobak coklat itu masih di trotoar, makin lama makin rapuh. Pertama-tama rodanya hilang. Dan entah kapan tak pernah ada lagi. Mungkin diambil orang.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home