Friday, February 25, 2005

PAK GENDUT DAN MADONA

Ketika hari hampir subuh, Pak Gendut membuka pintu rumahnya yang terletak di bilangan Pondok Indah. Menghela napas, ia menuju kamarnya . Tidak ada jejak istrinya. Ke mana juga? Tapi karena sudah keseringan tidak melihat istrinya, Pak Gendut tidak heran lagi. Jadi ia langsung ganti baju lalu tidur. Stress membuatnya ngorok keras-keras, sampai anak lelakinya, yang ada di kamar sebelah, harus putar lagu House Music untuk mengimbangi suaranya. Sedang apa ia? Ohh… sedang hacking ke RCTI website. Ia ada lomba dengan sesama hackers untuk kasih foto porno di website itu.

Pak Gendut menderita penyakit jaman sekarang, penyakit kesepian dan hilang makna hidup. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika kebutuhan pokok terpenuhi? Manusia cari kebutuhan sekondari lewat musik dan seni. Apa yang terjadi jika ini juga terpenuhi karena, yah hidup di jaman modern ini, karena uang tercukupi? Pak Gendut pulang tiap hari dari pekerjaan yang membosankan – tapi menghasilkan uang cukup – dan teman-teman kantor atau kawan-kawan seperjuruan yang semuanya menyebalkan. Mereka juga adalah orang-orang yang bosan setengah mati juga, tapi tidak rela untuk hidup miskin karena makanan mereka adalah gengsi yang dibawa sampai mati.

Begitulah. Pagi ini ia bangun makan sereal instan atau Indomi, pergi ke kantor diantar Pak Sarip, yang bawain koper juga Mirah dari desa Gotong Royong propinsi Jawa Tengah. Istrinya? Pak Gendut kurang tahu, tapi kalau diingat-ingat sepertinya istrinya sedang ke Singapura bareng teman-teman arisannya untuk ikutan “The big Singapore sale”. Pak Gendut sudah kehilangan gairah dengan istrinya sejak lima tahun lalu. “Ah, asal dia senang apapun saya belikan,” pikir Pak Gendut.

Pak Gendut punya anak dua, yang sulung cowok dan yang bungsu cewek. Yang cowok jarang keluar kamar, mungkin karena kamarnya itu laksana toko barang-barang elektronik waktu Pak Gendut pernah iseng lirik. Pak Gendut tidak pernah ingat ia pernah membelikan barang-barang itu, yang ia tahu cuma tagihan kartu kredit anaknya berlipat ganda sekitar tahun kemarin. Anak cowoknya itu minta kartu kredit sendiri ketika ia sudah legal bisa punya, jadi Pak Gendut, yang merasa bersalah kurang perhatian padanya, bersenang hati untuk memberikannya satu. Anak perempuannya? Pak Gendut kurang suka. Pak Gendut pernah terpaksa bertemu dengan kepala sekolah anaknya ini karena anaknya sering bolos sekolah dan terancam tinggal kelas. Apa boleh buat, demi kelangsungan pendidikan anaknya – terlebih lagi karena gengsi, masa punya anak gak naek kelas – Pak Gendut harus beri “hadiah” untuk kepala sekolahnya berupa sebuah Kijang. Walhasil, kepala sekolah terima dan semua jadi senang. Pak Gendut curiga bahwa anak perempuannya ini pergaulannya kurang beres, tapi Pak Gendut terlalu takut untuk bertanya. Ia sempat prihatin ketika di suatu hari ia melihat anak perempuannya, Dewi, dijemput teman-temannya yang bertato di tangan kiri dan kanan. Hmm.. sebenarnya cuma itu yang kelihatan, belum dihitung naga di punggung belakang!

Tapi dalam kehidupan yang sangat teramat membosankan ini Pak Gendut punya seseorang. Pak Gendut rajin pergi ke Mangga Besar untuk bertemu seseorang. Namanya Madona. Nama sebenarnya itu Sarinah, tapi untuk menyesuaikan diri dengan Jakarta berubahlah ia menjadi Madona. Umurnya kira-kira 20 tahunan. Pak Gendut tidak tahu benar apa pekerjaan Madona, tapi Pak Gendut tahu bahwa Madona tidak menolak untuk diajak kencan di hotel berbintang.

Pak Gendut perlakukan Madona seperti istri kedua. Bagi Pak Gendut, Madona simpanan ideal, gak cerewet, gak ngerajuk kelewat dan juga hobi belanjanya jarang. Madona tidak pernah mengeluh soal tipnya. Madona juga berharap bahwa ketidakrewelannya bisa membuat Pak Gendut betah. Madona tidak pengen main-main terlalu dengan berbagai jenis lelaki. Madona ingin jadi simpanan dengan gaji yang tetap, seperti hubungannya sekarang dengan Pak Gendut. Sekarang Madona punya vila di Puncak dan kartu kredit untuk belanja-belanja. Ia buat kawan-kawannya iri dan ia bangga atas hal itu.

Suatu hari, Pak Gendut di mobilnya ketika macel melihat pasangan suami istri usia lanjut yang rangkul-rangkul mesra di tepi jalan. Baju mereka bukan baju yang bisa menutup dari matahari dan hujan. Pak Gendut sering melihat orang-orang gembel, tapi mereka kelihatan beda. Tiba-tiba mereka bertatap mata dengan Pak Gendut. Ketakutan, Pak Gendut langsung buang muka. Ketakutan yang selalu ada, ketakutan bahwa mereka para gembel itu bakalan minta duit dan bikin sengsara. Tapi ketakutan itu dibayangi juga dengan rasa bersalah sebagai seorang yang berkecukupan dan kewajibannya untuk memberi kepada masyarakat yang kurang mampu. Kalau rasa bersalah ini kadang-kadang kelewat hebat, Pak Gendut segera hubungi temannya Mira, orang Cina yang berani terjun ke masyarakat, dan atur urusan soal sumbangan ke yayasannya dari bank accountnya. Pak Gendut kalau sedang royal bisa beri sampai sepuluh juta.

Pak Gendut ketemu Mira dulu di Gereja Tiongkok saat mereka masih kuliah di Universitas Tarumanegara. Waktu itu Pak Gendut belom gendut-gendut amat, bahkan bisa dibilang oke untuk dijadikan pasangan (Madona bahkan bisa bayangin bahwa Pak Gendut cakep waktu muda). Sebagai mahasiswa yang hobi kritik dan protes sana-sini, mereka rajin berdiskusi soal bagaimana mereka bisa mengubah dunia. Obrolan berkisar sampai kemiskinan dan kesenjangan social yang begitu besar di Indonesia akibat globalisasi. Mereka juga hobi benci sama Amerika dan ngobrolin kejelekan-kejelekan negeri Paman Sam ini. Intinya, mereka adalah teman akrab.

Mereka juga pernah pacaran selama lima tahun. Apa yang terjadi? Pak Gendut bawa Mira ke orangtuanya untuk minta restu kawin, lalu setelah sekian lama pacaran orang tuanya baru bilang tidak setuju. Padahal mereka sudah tahu tentang Mira dari dulu, tapi rupanya kesal dipendam di hati dan mereka berdoa khusyuk supaya pasangan ini putus. Alasannya? Mira Cina Baba, Pak Gendut Cina Totok. Orang tuanya ingin Pak Gendut dengan Cina yang setingkat dengan keluarga mereka, dan masih bisa punya nama Cina dan berbahasa Cina. Heran. Padahal sama-sama Cina.

Lalu mereka tiba-tiba ngomong soal pasangan kalo tidak setingkat/sehati bisa repot kalau sudah kawin. Mereka bawa Pak Gendut ke pendeta supaya dinasihati. Lalu mereka ajak omong Mira soal hal ini. Walhasil, Mira tiba-tiba minta putus karena tidak tahan. Pak Gendut depresi. Pak Gendut sebel sama orang-tuanya, sebel sama Mira, dan bahkan sebel sama pendeta dan gereja yang penuh orang-orang totok itu. Sebagai mahasiswa, ia benci gereja yang penuh orang-orang kaya yang muji Allah naek Merci dan gak nyumbang apa-apa.

Tapi sekarang ia telah menjadi orang kaya itu. Sekian lama ia terjun ke masyarakat, semakin ia tahu bahwa kehadirannya susah mengubah sesuatu. Tapi Mira lain. Ia tetap bersikeras bahwa sesuatu masih bisa dilakukan. Setelah mereka berdua menikah dengan orang-orang lain, Pak Gendut masih kadang-kadang menghubungi Mira dan bincang-bincang soal hal lama.

Sore-sore Pak Gendut tiba-tiba punya keinginan untuk ketemu Madona. Istrinya? Pak Gendut berusaha ingat kapan terakhir kali ia melihat istrinya. Ia merasa khawatir soal hubungan mereka, tapi kaki Pak Gendut melangkah pasti menuju Madona di hotel bintang lima.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home